Medan! Horas! : Night in Kampung Keling

Biasanya saya kalo traveling itu gak pernah namanya wisata kuliner. Selain gak hobi (dan ngebuang duit, hehe), juga karena banyak makanan khas daerah lain bisa ditemuin di Banjarmasin. Jawa, Bandung, Makassar, Manado, Aceh, apalagi Padang.

Tapi pas ke Medan pengecualian. Di samping saya gak perlu berhemat karena jalan-jalan saya ada yang biayain (aseeeeek), konon ada beberapa kuliner yang citarasanya gak akan ditemui di tempat lain. Ditambah Mba Phesi, temen sesama peserta travel fellowship LPDS dari Bengkulu, ngompor-ngompori kalo Medan itu terkenal sama mie-nya.

Jam nunjukin sekitar pukul sembilan malem. Saya masih muter-muter di PRSU dan mulai ngerasa bosen. Saya pun nyari-nyari info wisata malam di Google, dan nemu kawasan kuliner Pagaruyung, atau lebih dikenal dengan Kampung Keling. Eh? Kampung Keling?

Jadi, kawasan kuliner ini adanya di sebuah ruas jalan, kayak gang gitu, Jalan Pagaruyung namanya. Tapi lebih tenar sebagai Kampung Keling. Buka dari jam lima sore sampe jam tiga pagi. Warung-warung makan berderet di sepanjang tepi kiri dan kanan jalan. Menunya mayoritas masakan India, diselipi masakan Chinese. Yang menarik, orang-orang yang jualannya sebagian besar berparas khas Bollywod. Sedap dipandang, hihi…

Selama di Medan, saya agak hati-hati milih tempat kalo makan di luar. Begitupun pas nginjekin kaki di Kampung Keling, saya telusuri satu-persatu dari ujung ke ujung, dan akhirnya kaki saya berhenti di sebuah warung setelah melihat ada sejumlah kaligrafi tergantung didindingnya. Sengaja juga saya pilih tempat itu karena pengunjungnya sepi, maksudnya supaya bisa ngobrol dengan pemiliknya.

Alkisah, Kampung Keling ini udah ada sejak zaman Belanda, merupakan daerah pemukiman etnis India-nya Medan. Mereka berasal dari Madras, India Selatan. Sedangkan pusat kuliner di sini tumbuh sejak tahun 1980-an. Yang muslim, insya Allah gak perlu khawatir soal kehalalan kalo jajan di Kampung Keling, karena penduduk India Selatan mayoritas muslim. Warung Chinese food di Kampung Keling juga konon dilarang menyajikan babi.

Anyway, ada dua menu yang katanya paling wajib dicoba : martabak India dan mie Medan. Maka saya pun memesan dua menu itu. Sekilas penampakan martabak India gak beda sama martabak telor. Rasanya juga. Cuma isi adonannya sayur aja, gak pake daging. Trus ada potongan timun dan ditambah daging kari, pilihannya ayam dan kambing.

Kalo gak pernah makan suatu hidangan yang agak aneh dan gak tau cara makannya gimana, jangan malu nanya ya… daripada malu-maluin.

Kalo mie Medannya, rasanya lumayan sih, tapi agak aneh aja karena kuahnya kental banget, berasa lagi kayak makan gado-gado. Oh ya, sejak ke Kampung Keling juga, saya jadi jatuh cinta dengan teh tarik :D

 

 



Pulang dari Kampung Keling, saya ngelewati sebuah jembatan. Yang setelah diamati bener-bener tulisan di papan samping jembatan, ternyata itu jembatan bersejarah. Jembatan Kebajikan namanya. 

Dibangun tahun 1916 oleh anak-anak Tjong Yong Hian, seorang Mayor Tionghoa di Medan Deli, yang banyak berjasa untuk masyarakat tidak mampu. Bentuknya masih asli sejak pertama dibangun hingga sekarang, walau sudah beberapa kali direhab. Pada tahun 2003, jembatan ini memeroleh Anugerah Pelestarian Warisan Sejarah dari UNESCO Asia Pasifik.


Komentar